Sunday, February 11, 2018

Terungkapnya Kasus Viostin DS dan Enzyplex: Pentingnya Konsistensi dalam Mengawasi, Menjaga, dan Mengonsumsi Produk Obat dan Makanan Halal

Obat yang mengandung zat-zat haram harus kita hindari (Gambar: Istimewa)

Obat dan makanan adalah kebutuhan penting manusia yang ketersediaan dan ketercukupannya harus senantiasa terjaga. Baik obat maupun makanan merupakan kebutuhan primer manusia untuk melangsungkan kehidupan. Obat digunakan untuk mencegah dan menyembuhkan penyakit, sedangkan makanan dikonsumsi untuk pertumbuhan, perkembangan, dan mempertahankan hidup.
Sebagai barang konsumsi utama manusia untuk mempertahankan hidup, obat dan makanan wajib memenuhi unsur-unsur tertentu. Obat, antara lain, harus memenuhi unsur higienis dan memiliki khasiat (mujarab atau manjur) untuk mencegah dan menanggulangi (menyembuhkan) penyakit. Adapun makanan selain harus higienis, juga harus bergizi untuk pertumbuhan dan perkembangan badan serta menjaga daya tahan dan kesehatan tubuh.
Namun, bagi umat Muslim, obat dan makanan mutlak harus memenuhi satu unsur lagi yang tidak bisa ditawar-tawar, yakni kehalalan. Bagi orang Muslim, obat dan makanan yang dikonsumsi wajib memiliki sifat halal karena ini sudah menjadi ketentuan syariat yang ditetapkan oleh Allah swt dan Rasulullah saw. Halal artinya dibolehkan atau diizinkan karena tidak mengandung unsur-unsur tertentu yang dilarang syariat, seperti babi, darah, bangkai, dan khamr.
Terkait dengan syarat kehalalan obat dan makanan, umat Muslim Indonesia sering dihadapkan pada dilema dan kontroversi. Tidak semua obat dan makanan yang diperdagangkan dan beredar di tengah masyarakat halal untuk dikonsumsi. Ada obat dan makanan tertentu yang secara terbuka (terang-terangan) dikatakan mengandung unsur-unsur yang diharamkan. Ada obat dan makanan yang sama sekali tanpa disertai penjelasan halal atau haramnya. Ada pula obat dan makanan yang diklaim halal serta sebagian diberi label halal pula, tetapi setelah diuji di laboratorium ternyata mengandung unsur atau zat yang diharamkan (misalnya, mengandung lemak, minyak, atau DNA babi).
Kasus terakhir yang cukup menghebohkan, ada obat dan suplemen makanan yang semula dinyatakan layak beredar dan dikonsumsi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), tetapi setelah dilakukan uji ulang laboratorium oleh badan yang sama, terbukti mengandung DNA babi. Kedua obat dan suplemen makanan itu, Viostin DS (diproduksi PT Pharos Indonesia) dan Enzyplex (diproduksi PT Mediafarma Laboratories), telah membuat banyak pihak (terutama umat Islam) tertipu. Dalam pendaftaran ke BPOM sebelum dipasarkan (pre-market), Viostin DS dan Enzyplex dinyatakan layak dan aman karena menggunakan bahan dari sapi, tetapi dalam pengawasan dan pemeriksaan uji laboratorium setelah sekian lama dipasarkan (post-market), keduanya dinyatakan positif mengandung DNA babi.
Terlepas dari sengaja atau tidak sengaja, telah terjadi pengelabuan, pembohongan, dan penipuan oleh produsen kedua produk itu tidak hanya kepada BPOM, melainkan juga kepada konsumen umumnya dan umat Islam khususnya. Terjadi perbedaan yang bertolak belakang dalam proses pendaftaran-penyampelan (sampling) dan produksi-pemasaran kedua produk itu. Saat didaftarkan ke BPOM, sampel yang disodorkan menggunakan bahan dari sapi (halal), tetapi setelah mendapat izin edar dari BPOM, barang yang kemudian diproduksi dan dipasarkan secara massal ternyata  bukan lagi menggunakan bahan sapi, tetapi DNA babi (haram).
Terlepas dari masalah kelalaian, ketidaksengajaan, atau keledoran produsennya, kasus Viostin DS dan Enzyplex telah membuat konsumen umumnya dan umat Muslim Indonesia khususnya terbohongi dan tertipu. Tidak sedikit kaum Muslim yang sudah telanjur mengonsumsi suplemen dan obat haram itu. Apa pun alasan yang dikemukakan pihak produsen, kenyataannya kaum Muslim Indonesia sangat dirugikan karena telah melakukan hal yang dilarang oleh agama (mengonsumsi barang haram) akibat ulah produsen kedua produk itu.
Konsekuensi dari kasus ini, otoritas yang berwenang menangani masalah kelayakan edar produk obat dan makanan (BPOM) dituntut untuk mengambil sikap yang tegas dan tindakan yang konkret untuk menyelesaikan masalah. Sebagaimana yang diusulkan banyak pihak, BPOM tidak cukup hanya mencabut izin edar Viostin DS dan Enzyplex, memerintahkan produsennya untuk menarik kedua produk itu dari pasar dan memusnahkannya, serta memberikan peringatan keras, tetapi BPOM perlu mengambil langkah yang lebih konkret untuk memberikan sanksi administratif dan melakukan tuntutan pidana. Apa yang dilakukan oleh produsen Viostin DS dan Enzyplex (PT Pharos Indonesia dan PT Mediafarma Laboratories) merupakan pelanggaran nyata terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Jaminan Produk Halal sehingga penyelesaian permasalahannya dapat dilakukan melalui jalur hukum pidana.
Pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang dilakukan oleh produsen sangat memungkinkan untuk ditangani melalui jalur hukum pidana. Jika pelanggaran itu dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan melalui sidang pengadilan, pelaku pelanggaran dapat divonis dengan hukuman pidana (kurungan/penjara dan/atau denda), selain juga dapat dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha. Sudah saatnya setiap pelanggaran undang-undang tidak hanya ditangani dengan pemberian peringatan atau sanksi yang diambil di luar proses peradilan sehingga putusannya dapat memberikan efek jera pada pelaku pelanggaran.
Kembali pada topik obat dan makanan sebagai kebutuhan pokok manusia; kehalalannya harus senantiasa terjaga dan terjamin secara konsisten. Produsen obat dan makanan di Indonesia harus menghormati dan menghargai kaum Muslim di Indonesia sebagai umat beragama mayoritas yang karena tuntutan ajaran agama tidak bisa mengonsumsi obat dan makanan yang mengandung zat-zat tertentu yang diharamkan. Selama mereka menjadikan umat Islam Indonesia sebagai pangsa pasar, obat dan makanan yang mereka produksi dan pasarkan wajib terbebas dari zat-zat haram (seperti lemak atau DNA babi, bangkai, darah, dan khamr).
Di sisi lain, sebagai lembaga yang memiliki wewenang memberikan izin dan mengawasi peredaran obat dan makanan, BPOM harus selektif dan proaktif dalam memberikan izin usaha, izin edar, serta mengawasi peredaran obat dan makanan di Indonesia. BPOM harus konsisten dalam memberlakukan ketentuan dan standar pemberian izin dan melakukan pengawasan atas peredaran obat dan makanan di Indonesia. Khusus untuk umat Islam yang menjadi penduduk mayoritas di Indonesia, BPOM harus memperhatikan segi halal-haram produk obat dan makanan yang diawasinya. Jika menemukan kasus pelanggaran –– termasuk dalam bentuk mengedarkan obat dan makanan haram secara ilegal –– BPOM juga harus konsisten dalam melakukan tindakan imperatif, yakni memberikan sanksi yang tegas dan konkret serta memperhatikan unsur pidananya jika pelanggaran itu menyangkut perbuatan melawan hukum yang bertentangan dengan undang-undang.
Adapun kita sendiri, sebagai umat Islam, juga wajib konsisten, hati-hati, selektif, dan tanpa kompromi dalam memilih dan menggunakan obat dan makanan yang kita konsumsi. Obat dan makanan yang tidak jelas kehalalannya sebaiknya tidak kita konsumsi. Kita wajib mengonsumsi obat dan makanan yang sudah jelas kehalalannya saja. Alquran Surah Al-Maidah ayat 87–88 dengan jelas memerintahkan kita untuk mengonsumsi makanan yang halal dan baik.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”