Obat yang mengandung zat-zat haram harus kita hindari (Gambar: Istimewa) |
Obat
dan makanan adalah kebutuhan penting manusia yang ketersediaan dan ketercukupannya
harus senantiasa terjaga. Baik obat maupun makanan merupakan kebutuhan primer
manusia untuk melangsungkan kehidupan. Obat digunakan untuk mencegah dan
menyembuhkan penyakit, sedangkan makanan dikonsumsi untuk pertumbuhan,
perkembangan, dan mempertahankan hidup.
Sebagai
barang konsumsi utama manusia untuk mempertahankan hidup, obat dan makanan
wajib memenuhi unsur-unsur tertentu. Obat, antara lain, harus memenuhi unsur
higienis dan memiliki khasiat (mujarab atau manjur) untuk mencegah dan
menanggulangi (menyembuhkan) penyakit. Adapun makanan selain harus higienis,
juga harus bergizi untuk pertumbuhan dan perkembangan badan serta menjaga daya
tahan dan kesehatan tubuh.
Namun, bagi umat Muslim, obat dan makanan mutlak harus memenuhi
satu unsur lagi yang tidak bisa ditawar-tawar, yakni kehalalan. Bagi orang
Muslim, obat dan makanan yang dikonsumsi wajib memiliki sifat halal karena ini sudah
menjadi ketentuan syariat yang ditetapkan oleh Allah swt dan Rasulullah saw. Halal
artinya dibolehkan atau diizinkan karena tidak mengandung unsur-unsur tertentu
yang dilarang syariat, seperti babi, darah, bangkai, dan khamr.
Terkait dengan syarat kehalalan obat dan makanan, umat Muslim
Indonesia sering dihadapkan pada dilema dan kontroversi. Tidak semua obat dan
makanan yang diperdagangkan dan beredar di tengah masyarakat halal untuk
dikonsumsi. Ada obat dan makanan tertentu yang secara terbuka (terang-terangan)
dikatakan mengandung unsur-unsur yang diharamkan. Ada obat dan makanan yang sama
sekali tanpa disertai penjelasan halal atau haramnya. Ada pula obat dan makanan
yang diklaim halal serta sebagian diberi label halal pula, tetapi setelah diuji
di laboratorium ternyata mengandung unsur atau zat yang diharamkan (misalnya,
mengandung lemak, minyak, atau DNA babi).
Kasus terakhir yang cukup menghebohkan, ada obat dan suplemen
makanan yang semula dinyatakan layak beredar dan dikonsumsi oleh Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM), tetapi setelah dilakukan uji ulang laboratorium oleh
badan yang sama, terbukti mengandung DNA babi. Kedua obat dan suplemen makanan
itu, Viostin DS (diproduksi PT Pharos Indonesia) dan Enzyplex (diproduksi PT
Mediafarma Laboratories), telah membuat banyak pihak (terutama umat Islam) tertipu.
Dalam pendaftaran ke BPOM sebelum dipasarkan (pre-market), Viostin DS dan Enzyplex dinyatakan layak dan aman
karena menggunakan bahan dari sapi, tetapi dalam pengawasan dan pemeriksaan uji
laboratorium setelah sekian lama dipasarkan (post-market), keduanya dinyatakan positif mengandung DNA babi.
Terlepas dari sengaja atau tidak sengaja, telah terjadi
pengelabuan, pembohongan, dan penipuan oleh produsen kedua produk itu tidak
hanya kepada BPOM, melainkan juga kepada konsumen umumnya dan umat Islam
khususnya. Terjadi perbedaan yang bertolak belakang dalam proses
pendaftaran-penyampelan (sampling)
dan produksi-pemasaran kedua produk itu. Saat didaftarkan ke BPOM, sampel yang disodorkan
menggunakan bahan dari sapi (halal), tetapi setelah mendapat izin edar dari
BPOM, barang yang kemudian diproduksi dan dipasarkan secara massal
ternyata bukan lagi menggunakan bahan
sapi, tetapi DNA babi (haram).
Terlepas dari masalah kelalaian, ketidaksengajaan, atau keledoran
produsennya, kasus Viostin DS dan Enzyplex telah membuat konsumen umumnya dan umat
Muslim Indonesia khususnya terbohongi dan tertipu. Tidak sedikit kaum Muslim
yang sudah telanjur mengonsumsi suplemen dan obat haram itu. Apa pun alasan
yang dikemukakan pihak produsen, kenyataannya kaum Muslim Indonesia sangat
dirugikan karena telah melakukan hal yang dilarang oleh agama (mengonsumsi
barang haram) akibat ulah produsen kedua produk itu.
Konsekuensi dari kasus ini, otoritas yang berwenang menangani
masalah kelayakan edar produk obat dan makanan (BPOM) dituntut untuk mengambil
sikap yang tegas dan tindakan yang konkret untuk menyelesaikan masalah.
Sebagaimana yang diusulkan banyak pihak, BPOM tidak cukup hanya mencabut izin
edar Viostin DS dan Enzyplex, memerintahkan produsennya untuk menarik kedua
produk itu dari pasar dan memusnahkannya, serta memberikan peringatan keras,
tetapi BPOM perlu mengambil langkah yang lebih konkret untuk memberikan sanksi administratif
dan melakukan tuntutan pidana. Apa yang dilakukan oleh produsen Viostin DS dan
Enzyplex (PT Pharos Indonesia dan PT Mediafarma Laboratories) merupakan
pelanggaran nyata terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan
Undang-Undang Jaminan Produk Halal sehingga penyelesaian permasalahannya dapat dilakukan
melalui jalur hukum pidana.
Pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan
Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang dilakukan oleh produsen sangat memungkinkan
untuk ditangani melalui jalur hukum pidana. Jika pelanggaran itu dapat
dibuktikan secara sah dan meyakinkan melalui sidang pengadilan, pelaku
pelanggaran dapat divonis dengan hukuman pidana (kurungan/penjara dan/atau
denda), selain juga dapat dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin
usaha. Sudah saatnya setiap pelanggaran undang-undang tidak hanya ditangani
dengan pemberian peringatan atau sanksi yang diambil di luar proses peradilan
sehingga putusannya dapat memberikan efek jera pada pelaku pelanggaran.
Kembali pada topik obat dan makanan sebagai kebutuhan pokok
manusia; kehalalannya harus senantiasa terjaga dan terjamin secara konsisten.
Produsen obat dan makanan di Indonesia harus menghormati dan menghargai kaum
Muslim di Indonesia sebagai umat beragama mayoritas yang karena tuntutan ajaran
agama tidak bisa mengonsumsi obat dan makanan yang mengandung zat-zat tertentu yang
diharamkan. Selama mereka menjadikan umat Islam Indonesia sebagai pangsa pasar,
obat dan makanan yang mereka produksi dan pasarkan wajib terbebas dari zat-zat
haram (seperti lemak atau DNA babi, bangkai, darah, dan khamr).
Di sisi lain, sebagai lembaga yang
memiliki wewenang memberikan izin dan mengawasi peredaran obat dan makanan,
BPOM harus selektif dan proaktif dalam memberikan izin usaha, izin edar, serta
mengawasi peredaran obat dan makanan di Indonesia. BPOM harus konsisten dalam
memberlakukan ketentuan dan standar pemberian izin dan melakukan pengawasan
atas peredaran obat dan makanan di Indonesia. Khusus untuk umat Islam yang
menjadi penduduk mayoritas di Indonesia, BPOM harus memperhatikan segi
halal-haram produk obat dan makanan yang diawasinya. Jika menemukan kasus
pelanggaran –– termasuk dalam bentuk mengedarkan obat dan makanan haram secara
ilegal –– BPOM juga harus konsisten dalam melakukan tindakan imperatif, yakni
memberikan sanksi yang tegas dan konkret serta memperhatikan unsur pidananya
jika pelanggaran itu menyangkut perbuatan melawan hukum yang bertentangan
dengan undang-undang.
Adapun kita sendiri, sebagai umat
Islam, juga wajib konsisten, hati-hati, selektif, dan tanpa kompromi dalam
memilih dan menggunakan obat dan makanan yang kita konsumsi. Obat dan makanan
yang tidak jelas kehalalannya sebaiknya tidak kita konsumsi. Kita wajib
mengonsumsi obat dan makanan yang sudah jelas kehalalannya saja. Alquran Surah
Al-Maidah ayat 87–88 dengan jelas memerintahkan kita untuk mengonsumsi makanan yang
halal dan baik.
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan
yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan
bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”