Ilustrasi Abu Bakar As-Shiddiq (Sumber: (soffah.net) |
Abu
Bakar Ash-Shiddiq lahir di Mekah, Arab Saudi, pada tahun 572 dan wafat di Madinah pada 23 Agustus 634 (21
Jumadil Akhir 13 H). Abu Bakar wafat dalam usia 61 tahun karena sakit. Jasadnya
dimakamkan di kediaman putrinya, Aisyah, di dekat Masjid Nabawi, berdampingan
dengan makam Nabi Muhammad saw.
Nama
lengkap Abu Bakar adalah ‘Abdullah bin ‘Utsman bin Amir bi Amru bin Ka’ab bin
Sa’ad bin Tayyim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Quraisy. Abu
Bakar berasal dari keluarga kaya keturunan Bani Taim yang masih dalam kelompok
suku Quraisy. Ayahnya bernama Uthman Abu Quhafa, sedangkan ibunya bernama Salma
binti Sakhar. Abu Bakar menghabiskan masa anak-anaknya di antara masyarakat
Badui yang kehidupannya akrab dengan unta –– mereka menyebut diri dengan “Ahl-i-Ba'eer” (Rakyat Unta). Semasa
kecil ia gemar bermain dengan unta dan kambing sehingga dirinya lekat dengan
sebutan atau nama “Abu Bakar”, yang artinya “bapaknya unta”.
Abu
Bakar juga mendapat julukan “ash-Shiddiq”
dan “’Atiq”. Kata ash-Shiddiiq
berarti ‘yang membenarkan perkataan
dengan perbuatan’, sedangkan kata ‘Atiq
berarti ‘yang indah’ atau ‘yang
mulia’. Pemberian predikat “ash-Shiddiq”, menurut banyak riwayat,
terkait dengan kesediaan Abu Bakar untuk mempercayai dan membenarkan perjalanan
Isra’ Mikraj yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Adapun julukan “‘Atiq” diberikan kepada Abu Bakar karena
ia memiliki wajah yang tampan atau cerah serta senantiasa berada di barisan
terdepan dalam melakukan kebaikan. Adapun putri Abu Bakar, Aisyah radhiallahu
‘anhu, saat mendeskripsikan ciri-ciri fisik ayahandanya, antara lain,
menyatakan bahwa ayahnya adalah seorang yang berkulit putih, kurus, tipis kedua
pelipisnya, kecil pinggangnya, wajahnya selalu berkeringat, hitam matanya,
dahinya lebar, dan selalu mewarnai jenggotnya dengan inai atau katam.
•
As-Sabiqun
al-Awwalun
Beberapa
sejarawan Islam menyatakan, Abu Bakar merupakan hakim yang memiliki kedudukan
tinggi, orang yang terpelajar, dan seorang pedagang. Pada tahun 591, saat
berusia 18 tahun, Abu Bakar sudah menekuni profesi sebagai pedagang kain
––perdagangan kain memang sudah menjadi bisnis keluarganya. Bisnis kain
membuatnya sering melakukan perjalanan hingga ke Suriah, Yaman, dan beberapa
tempat jauh yang lain. Bisnis yang ditekuninya membuat ia kian kaya dan
berpengalaman dalam berdagang.
Sebagaimana
anak-anak dari keluarga pedagang kaya Mekah, Abu Bakar juga termasuk orang yang
terpelajar. Ia menguasai keterampilan menulis dan membaca serta menyukai syair
(puisi). Ia seringkali menghadiri pameran tahunan dan turut berpatisipasi dalam
simposium puisi. Ia juga mempunyai ingatan yang kuat dan pemahaman yang baik
perihal silsilah suku-suku Arab serta sejarah dan politik mereka.
Pada
masa dewasa Abu Bakar termasuk golongan as-sabiqun
al-awwalun, yakni orang-orang yang pertama atau paling awal memeluk agama
Islam –– mereka yang juga masuk dalam golongan ini, antara lain, Siti Khadijah
(istri Nabi Muhammad saw.), Umar bin Khattab, Zaid bin Haritsah (seorang
budak), dan Ali bin Abi Thalib. Menurut
Tabari, sejarawan Muslim yang terkenal, Abu Bakar memang bukan orang yang
pertama masuk Islam setelah muculnya dakwah Islam dari Muhammad saw. Sebelum
Abu Bakar masuk Islam, sudah ada lebih dari 50 orang yang lebih dahulu masuk
Islam, tetapi Abu Bakar lebih unggul sebagai seorang Muslim.
Abu
Bakar masuk Islam setelah diajak oleh Nabi Muhammad saw. Sejak zaman jahiliah,
Abu Bakar telah menjadi teman Nabi Muhammad saw. Muhammad dan Abu Bakar
memiliki usia yang hampir sama, Muhammad lebih tua 2 tahun 1 bulan. Ketika pada
suatu hari Nabi Muhammad saw. mengatakan kepada Abu Bakar bahwa beliau adalah
utusan Allah serta mengajaknya kepada Allah (masuk Islam), Abu Bakar langsung
menyatakan diri memeluk Islam. Kemudian, Abu bakar menemui dan mengajak masuk
Islam juga beberapa sahabat lain, yakni Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam,
Thalhah bin Ubaidillah, dan Sa'ad bin Abi Waqas –– ajakan ini segera disambut
keempatnya dengan masuk Islam.
Setelah
Abu Bakar masuk Islam, banyak orang lain yang mengikuti jejaknya. Selain mengajak
teman-teman dekatnya untuk masuk Islam, ia juga melakukan hal yang sama kepada
keluarganya walaupun usahanya tidak selalu membuahkan hasil seperti yang
diharapkannya. Istri pertamanya yang bernama Qutaylah binti Abd-al-Uzza tidak
bersedia menerima Islam sehingga Abu Bakar menceraikannya. Istrinya yang lain,
Ummi Ruman, bersedia menjadi Muslim. Adapun semua putra Abu Bakar secara
sukarela menerima Islam sebagai agamanya kecuali Abdurrahman bin Abi Bakar ––
tetapi Abdurrahman kemudian juga menjadi seorang Muslim setelah disepakatinya
Perjanjian Hudaibiyyah.
Orang-orang
yang memeluk Islam pada masa awal kedatangan agama Islam umumnya mendapat
perlakuan kasar dan represif dari penduduk Mekah yang sebagian besar masih
memeluk agama nenek moyangnya. Bahkan para mualaf dari kalangan budak mendapat
penyiksaan berat dari para tuannya. Keadaan tragis ini mengetuk hati Abu Bakar
untuk membebaskan para mualaf budak yang tertindas dengan cara membeli mereka
dari tuannya, kemudian memerdekakannya. Abu Bakar berhasil memerdekakan sekitar
70 budak dari cengkeraman dan penyiksaan para majikannya –– mereka yang
dibebaskan itu, antara lain, Bilal bin Rabah, ‘Amir bin Fahirah, Zunairah, Al
Hindiyyah, Bani Mu’ammal, dan Ummu ‘Ubais.
•
Menjadi
Khalifah Pertama
Dalam
peristiwa hijrah, yakni saat Nabi Muhammad pindah dari Mekah ke Madinah pada
tahun 622 M, Abu Bakar adalah satu-satunya orang yang menemaninya. Melalui
peristiwa itu pula Abu Bakar memiliki ikatan kekeluargaan yang lebih kuat dan
dekat dengan Nabi Muhammad saw. Beberapa saat setelah hijrah, Abu Bakar
menikahkan putrinya, Aisyah, dengan Nabi Muhammad saw.
Sebelum
hijrah dilakukan, Abu Bakar menyedekahkan seluruh hartanya. Nabi Muhammad saw.
sempat terperangah dan bertanya, “Wahai Abu Bakar, apa yang engkau sisakan untuk
keluargamu?” Dengan ringan Abu Bakar menjawab, “Kutinggalkan untuk mereka,
Allah dan Rasul-Nya.”
Adapun
selama dalam perjalanan hijrah, Abu Bakar berusaha menjadi pendamping yang
sebaik-baiknya bagi Nabi Muhammad saw (Rasulullah saw.). Ia menjaga, melayani,
dan memuliakan Rasulullah saw. Demi keamanan dan kenyamanan Rasulullah saw.,
Abu Bakar mengambil poisisi yang berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi
perjalanan: kadang ia di belakang, kadang di kanan, dan kadang di kiri
Rasulullah saw. Pada saat-saat tertentu ia mempersilakan Rasulullah saw. untuk
beristirahat, sementara ia terus berjaga-jaga seolah-olah tidak merasakan
lelah.
Kedekatan
Abu Bakar dengan Nabi Muhammad saw. serta keunggulannya sebagai pribadi yang
berilmu, bertakwa, santun, lemah lembut, dermawan, serta memiliki keyakinan,
komitmen, dan kesetiaan tanpa batas terhadap Islam dan Rasulullah saw.
menjadikannya sebagai sahabat terbaik yang dianggap paling layak untuk mewarisi
kepemimpinan Muhammad Rasulullah saw. Selama Rasulullah saw. menjalani
perawatan karena sakit, beliau sendiri yang memerintahkan kepada para sahabat
untuk menunjuk Abu Bakar sebagai imam salat untuk menggantikannya. Rasulullah
saw. juga pernah menyatakan bahwa pada saat orang lain menganggapnya pendusta,
hanya Abu Bakarlah yang membenarkannya sebagai utusan Allah, kemudian ia
membela pula Rasulullah saw. dengan seluruh jiwa dan hartanya.
Perintah
Rasulullah saw. untuk menunjuk Abu Bakar menjadi imam salat selama Rasulullah
saw. sakit dianggap sebagai indikasi kuat bahwa Abu Bakar akan menggantikan
posisinya. Setelah Rasulullah saw. wafat, Abu Bakar juga dianggap sebagai
sahabat Rasul yang paling tabah menghadapi suasana duka. Segera setelah
wafatnya Rasulullah saw., para pemuka kaum Anshar dan Muhajirin di Madinah menggelar
musyawarah untuk memilih orang yang akan menggantikan Rasulullah saw. sebagai
pemimpin umat Islam. Melalui musyawarah itu akhirnya diputuskan bahwa Abu Bakar
ditunjuk menjadi pemimpin (baru) atau khalifah umat Islam.
•
Prestasi
sebagai Khalifah Pertama
Penunjukan
tersebut menjadikan Abu Bakar sebagai khalifah pertama pasca wafatnya Muhammad
Rasulullah saw. Abu Bakar menjadi khalifah dari tahun 632 hingga tahun 634
Masehi –– selama 2 tahun, 2 bulan, dan 14 hari. Tiga
sahabat yang kemudian menggantikannya berturut-turut adalah Umar bin Khattab,
Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Abu Bakar beserta tiga penerusnya ini
biasa disebut Khulafaur Rasyidin atau “khalifah yang diberi petunjuk”.
Penunjukan
Abu Bakar sebagai khalifah sempat memicu kontroversi di kalangan sebagian umat
Islam saat itu. Golongan tertentu beranggapan bahwa orang yang seharusnya
menggantikan kedudukan Rasulullah saw. adalah Ali bin Abi Thalib, menantu
Rasulullah saw. sendiri. Namun, segolongan Muslim yang lain menyatakan, penunjukan
Abu Bakar sebagai khalifah sudah benar karena dilakukan melalui musyawarah.
Menurut mereka, Rasulullah saw. tidak menunjuk secara langsung pengganti
dirinya karena ingin mengedepankan musyawarah dalam memilih pemimpin. Di
kemudian hari perbedaan pandangan ini menyebabkan munculnya dua golongan besar di kalangan umat Islam
dunia. Golongan yang menyetujui penunjukan Abu Bakar dikenal sebagai kaum Sunni
(Islam Sunni), sedangkan golongan yang menolak penunjukan Abu Bakar dan
menghendaki Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah dikenal sebagai kaum Syiah
(Islam Syiah).
Akan
tetapi, terlepas dari kontroversi dan perbedaan dua golongan tersebut, Ali bin
Abi Thalib sendiri menyatakan kesediaan dan kesetiaannya (berbai'at) kepada Abu
Bakar sebagai khalifah. Hal yang sama juga diperlihatkan Ali bin Abi Thalib
kepada dua khalifah setelah Abu Bakar, yakni Umar bin Khattab dan Usman bin
Affan. Kaum Sunni melukiskan hal itu sebagai pernyataan yang antusias dari Ali
dan ia menjadi pendukung setia Abu Bakar dan Umar. Adapun kaum Syiah menyatakan
bahwa Ali melakukan baiat tersebut secara pro forma (sekadar basa-basi untuk
mengikuti tata cara yang berlaku), mengingat ia berbaiat setelah sepeninggal istrinya,
Fatimah, serta setelah itu ia menunjukkan protes dengan menutup diri dari
kehidupan publik.
Momentum
naiknya Abu Bakar sebagai khalifah disusul oleh munculnya masalah-masalah baru
di kalangan umat Islam. Beberapa suku Arab dari daerah Hijaz dan Nejed
melakukan pembangkangan terhadap Abu Bakar dan sistem yang berlaku. Sebagian
dari mereka menolak untuk membayar zakat meskipun tidak menolak agama Islam.
Sebagiannya lagi kembali memeluk agama dan tradisi lama (menyembah berhala).
Mereka yang melakukan pembangkangan ini mengklaim bahwa mereka hanya memiliki
komitmen dengan Nabi Muhammad saw. sehingga dengan wafatnya beliau komitmen
mereka menjadi tidak berlaku lagi.
Abu
Bakar tidak tinggal diam melihat hal itu. Ia kemudian menyatakan perang
terhadap mereka yang melakukan pembangkangan. Operasi penumpasan yang
dilancarkannya memicu terjadinya perang yang dikenal sebagai Perang Riddah.
Upaya terbesar dalam perang ini adalah memerangi Musailamah al-Kazzab atau
“Musailamah si Pendusta”, yang mengklaim diri sebagai nabi baru pengganti Nabi
Muhammad saw. Perang dapat dimenangkan oleh pasukan Muslim pimpinan Khalid bin
Walid, sedangkan Musailamah al-Kazzab sendiri dapat dibunuh (orang yang
berhasil membunuhnya adalah Al Wahsyi,
seorang mantan budak yang telah bertobat dan memeluk agama Islam).
Kemenangan
itu menjadikan Jazirah Arab dapat dikuasai penuh oleh Kekhalifahan Abu Bakar,
sementara keadaan internal juga dapat dikendalikan dan menjadi stabil. Pasukan
Islam di bawah komando Khalid bin Walid kemudian berhasil menaklukkan Irak
dengan relatif mudah, sedangkan ekspedisi yang dilancarkan ke wilayah Suriah
juga meraih sukses.
Abu
Bakar berperan penting dalam pendokumentasian naskah tertulis Alquran.
Kendatipun dalam Perang Riddah banyak penghafal Alquran yang gugur dalam
pertempuran, Abu Bakar masih mampu melakukan koordinasi dan konsolidasi untuk
menghimpun naskah-naskah Alquran yang tersebar-sebar. Atas saran Umar bin
Khattab, Abu Bakar memberikan instruksi untuk mengumpulkan naskah-naskah
Alquran. Melalui sebuah tim yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit, berhasil
dikumpulkan dokumen dari para penghafal Alquran yang masih tersisa dan dari
tulisan-tulisan yang terdapat pada media seperti tulang dan kulit. Setelah
ditulis ulang secara lengkap, hasilnya (naskah dokumen) disimpan oleh Abu
Bakar. Sepeninggal Abu Bakar, naskah disimpan oleh Umar bin Khattab, kemudian
disimpan oleh Hafsah (putri Umar). Pada masa Kekhalifahan Usman bin Affan,
koleksi atau dokumen ini menjadi dasar penulisan teks Alquran seperti yang kita
kenal saat ini.